Me and My Boy

Me and My Boy

Jumat, 07 Mei 2010

Satu Permintaan

Tok......Tok....Tok...., “ Na....! Runa...! “

Runa yang hamper tertidur, kembali terjaga mendengar suara pintu diketuk-ketuk dan namanya di panggil-panggil. Dalam posisi masih rebahan, Runa mencoba mengusir rasa kantuknya dan memperjelas pendengaranya. Lewat suara orang di luar, Runa jadi tahu kalau itu ialah Nina, teman sekelasnya.

Runa terpaksa menunda tidur siangnya. Ia bangkit dan melangkah untuk membukakan pintu dengan pertanyaan di hatinya, perihal kedatangan sahabatnya ini yang tak seperti biasanya ini.

Krek.....pintu terbuka setengah. Kepala Runa muncul. Di depan pintu Nina berdiri dengan mengenakan seragam sekolah lengkap.

“ Eh, kau, Nin, aku pikir siapa, “ tukas Runa dengan mata setengah terbuka, pertanda rasa kantuknya belum sepenuhnya hilang. “ Emang kau belum pulang ? “ tanya Runa. Sepulang sekolah beberapa jam yang lalu, setahu Runa, Nina langsung pulang, tapi kenapa sekarang ia ke sini ?

“ Run....,” ucap Nina setengah merengek. Runa mengemati wajah sahabatnya yang terlihat kusut. “ Ada apa, Nin ? “ Dahi Runa jadi berkerut.

“ Run....” Kini mata Nina jadi berkaca-kaca.
“ Ada apa sih, Nin...?” tanya Runa heran. Ia benar-benar tak mengerti dengan tingkah sahabatnya ini. Dibukakanya pintu lebar-lebar. “ Run...” lagi-lagi Nina hanya berucap seperti itu. Dan air mata Nina jadi berlinang. Nina menangis.

“ Nina...kau kenapa sih..? “ Runa jadi kawatir. Matanya yang terbuka setengah dipaksakanya terbuka penuh. Runa mulai menerka kejadian buruk apa yang telah menimpa sahabatnya ini. Jangan-jangan ? Runa jadi teringat berita-berita criminal yang ditayangkan di TV. Tapi, buru-buru ditepiskanya pikiran buruk itu.

Suara tangis Nina tambah kencang. “ Nin, kau tenang dulu dong. Yuk, masuk dulu. “ Runa tak mau jika tetangganya terbangun dari tidur siang dan berkerumun mendekati kerena mendengar tangisan Nina. Akhirnya Nina pun masuk ke dalam rumah Runa.
“ Sekarang kau duduk dulu di sini. “ Runa mendudukan Nina di kursi sofa berukuran mini. Kemudian, Runa mengambil air dari dispenser dan memberikanya pada Nina “ Nih, minum dulu “.


Nina menuruti perkataan Runa. Diminumnya air putih itu sampai habis. Kebetulan sekali Nina memang sedang haus.

“ Nah, sekarang ayo cerita. Ada apa ? “ tanya Runa halus.
Tangis Nina mulai mereda. “ Run, HP aku ilang.”
“ HP kau ilang! HP yang mana? “ setahu Runa sahabatnya ini memang memiliki dua HP.
“ Yang hadiah dari Mama aku.”
“ Apa!” Runa benar-benar terkejut. HP tersebut ialah HP tipe terbaru dan untuk saat ini HP tersebut harganya paling mahal. “ Bagaimana ceritanya bisa ilang begitu, Nin ?”
“ Itulah. Aku juga enggak tau. Di bis tadi saat aku dalam perjalanan pulang. Aku asyik sms-san dari HP tersebut. Dan tanpa sadar aku ketiduran. Saat aku bangun HP yang semula ada di genggaman udah enggak ada “ Nina kembali menangis.

Ia benar-benar sedih. Pasalnya, HP tersebut hadiah Mama di ultahnya yang ke 14, seminggu yang lalu. Mama menbelikan HP itu karena memang atas permintaan Nina yang ingin dibelikan Hp tersebutsebagai kado di hari ultahnya. Meski mama hanya pegawai negri dengan gaji yang tak seberapa, demi putrinya tercinta ini mama membelikan juga HP mahal itu. Duh, Nina benar-benar takut jika mamanya sampai tahu HP itu hilang.

Mama pasti marah besar. Makanya sampai sekarang Nina belum berani pulang. Ah, ini semua karena penyakit insomnianya.
Ya, kurang-lebih sudah dua bulan ini Nina terserang penyakit yang membuatnya susah tidur malam. Hingga ia merasa tubuhnya lemas dan sering kali ia tertidur di saat guru sedang menjelaskan materi pelajaran, atau seperti beberapa jam yang lalu, Ia ketidutan di dalam bus.

“ Udah deh, Nin. Cep....Cep.” Runa menenangkan tangisan Nina. “ Sekarang beiknya kau telepon deh ke nomor HP kau yang ilang itu “

“ Untuk apa, Run. Percuma. Orang yang ngambil HP aku itu mustahil mau ngembaliin ke aku lagi.”
“ Ya....., tapi enggak ada salahnya kan,” ujar Runa, walau ia sendiri sebenarnya juga tak yakin HP tersebut akan dikembalikan.
Tak ada pilihan, Nina menuruti juga perkataan Runa. Diambilnya Hp-nya yang satunya lagi dari dalam tas sekolahnya. Dipijitnya tuts-tuts sesuai nomor HP-nya yang hilang itu. Nina menunggu beberapa saat.
“ Halo “ suara cowok di seberang sana. Dari suaranya Nina bisa menerka, bahwa cowok itu masih muda.
“ Halo, kamu yang mengambil Hp-ku ya? “ ucap Nina. “ Oh, kamu pemilik Hp ini. Sorry, bukan aku yang ngambil. Tadi saat kamu ketiduran di bis ada seseorang yang mengambil Hp kamu. Kebetulan sekali aku melihatnya dan langsung mengejar si pengambil yang kabur. Untungnya aku berhasil merebut Hp-mu”
“ Tolong kembalikan ya” Nina memohon. Nina tak perduli ucapan cowok diujung sana benar atau tidak. Nina hanya ingin Hp-nya kembali.
“ Berapa uang yang akan kamu minta akan aku penuhi, “ lanjut Nina
“ Ow, tawaran yang menyenangkan! Emm....” Cowok di seberang seperti tengah berpikir. “ Bagaimana kalau setengah juta?”
“ Setengah juta! Kamu keterlaluan deh! “ ucap Nina, emosinya mulai terpancing.


“ Ya, itu terserah kamu. Milih kehilangan uang setengah juta atau Hp-mu ini”

Hati Nina jadi ciut juga mendengar perkataan yang bernada mengancam itu. Uang setengah juta memang tidak ada apa-apanya dibandingkan Hp-nya.
“ Ok, deh, aku akan siapkan uangnya, “ akhirnya Nina menyetujuinya juga.
“ Kapan kamu akan tebus HP ini ? “
“ Dua hari lagi. Tapi kamu tidak akan mejual HP-ku.”. Cowok diseberang sana tertawa “ Beres Non.” Tut! Sambungan diputus.

Keesokan harinya, Nina memasuki perkampungan kumuh yang berada di pinggiran sungai. Orang yang mengaku menyelamatkan HP Nina dari seorang pencuri itu memberitahukan alamatnya dan namanya.

Di dalam tasnya Nina telah ada uang sebanyak setengah juta. Tiga ratus diambilnya dari ATM yang memang hanya tinggal sejumlah itu, sedangkan sisanya Nina peroleh dari papanya. Untuk membeli buku-buku pelajaran, begitu Nina beralasan kepada papanya.

“ Maaf Pak, apa benar ini Kampung Lontar ?” tanya Nina pada seorang lelaki tua yang tengah duduk santai di halaman rumahnya.

“ Ya betul. Adik ini cari siapa ya?” leaki tua itu balik tanya seraya memperhatikan Nina. Dari penampilan Nina, lelaki tua sudah dapat menebak, gadis didepanya ini pasti anak orang kaya.
“ Tau rumahnya Ichal, Pak?” Nina bertanya lagi.
“ Oh, kalau Nak Ichal bapak tau. Itu orangnya. “ Tunjuk lelaki tua pada seorang cowok yang tengah bermain gitar dan bernyanyi dengan bangku panjang yang terbuat dari papan.
“ Terima kasih Pak” Nina mengganguk sopan. Bergegas Nina menghampiri cowok tersebut.

“ Hai, kamu Ichal?” Tanya Nina

Cowok itu menghentikan kegiatanya. Kepalanya menolah. Senyumnya menyeruak. “ Hai, kamu. Mau mengambil HP-mu?”
Nina mengerutkan dahinya, cowok ini seusia denganya. Ia merasa taka sing dengan wajah cowok di hadapanya ini.
“ Kenapa? Kamu merasa kenal denganku?” cowok itu seperti dapat menebak apa yang ada dalam benak Nina. “ Aku, pengamen bis kota. Dan kamu sering melihatku mengamen,” terangnya.
Ya, ampun! Nina baru ingat sekarang, cowok inilah pengamen bis kota. Hampir setiap pulang Nina berjumpa denganya.
“ Oh...., jadi kau orangnya. Pastinya kau yang nyolong HP-ku.” Setelah mengingat siapa cowok di hadapanya ini bahasa Nina berubah kasar. Wajahnya menegang. Menahan emosinya yang siap meledak. Nina, juga lupa dengan rasa takutnya, yang menghantuinya sejak berangkat dari rumah tadi.
“ Wah, ternyata gadis manis sepertimu ini galak juga.” Meski Nina sudah memasang tampang yang tak bersahabat, cowok itu mengumbar senyumnya.
“ Bagaimana, kalau aku buatkan minum dulu? Kamu pasti haus” cowok itu menawarkan
“ udah deh gak usah basa-basi. Ini aku udah siapin uangnya. Mana HP-ku ?” Nina mengambil selembar amplop berisikan uang sebanyak setengah juta. “ Nih, hitung uangnya.” Nina menyerahkan amplop itu.
Cowok itu menerima amplop dan langsung mengeluarkan isinya. Cowok itu menghitung lima lembar uang pecahan seratus ribuan yang ada di tanganya. Kemudian, uang itu kembali dimasukan ke dalam amplop. “ Jumlanya cukup “. Cowok itu mengeluarkan sebuah HP dari saku bajunya. “ Ini HP-mu, dan ini uangmu.” Cowok itu menyerahkan HP berserta uangnya.

Nina menerima dengan perasaan heran. “ Kenapa uangnya dikmbalikan? Apakah jumlanya kurang?”

“ Maaf, aku bukan tipe orang yang pamrih dalam melakukan kebaikan”
“ Tapi, kenapa kemarin kamu minta uang setengah juta ke aku ?” Nina masih belum mengerti jalan pikiran cowok itu.
“ Aku tidak pernah meminta uang, hanya kamu yang menawarkan. Mungkin karena kamu orang kaya,ya. Jadi kamu selalu mengukur sesuatu dengan uang. “
Perkataan cowok itu serasa tepat meninju hati Nina. Wajah Nina jadi merah, entah karena marah, atau malu. “ lalu apa maksud mu dengan semua ini?”
“ Tak ada, aku hanya ingin menolong. Terserah kamu mau percaya atau tidak.”
“ Sungguh gak ada permintaan dari mu ?” Nina masih meragukan kebaikan cowok di hadapanya ini.
“ Ada, tapi bukan materi”
“ Apa itu?”
“ Setiap kali aku berjumpa denganmu saat mengamen, lewat pancaran wajahmu aku merasa ada kebencian dari hatimu yang tertuju padaku, atau mungkin kebencian itu juga kau tunjukan pada setiap pengamen. Satu pintaku, janganlah kau benci pengamen. Meski mungkin kehadiran pengamen membuat perjalananmu terganggu. Tapi kau harus tau, mengamen bukanlah cita-cita, tapi karena desakan keadaan.”

Nina merenungi perkataan cowok tersebut. Pada saat itu dating beberapa anak usia SD. “ Kak, Kapan belajarnya “ tanya seorang anak “ Sekarang “ Jawab Ichal.

“ Kalau begitu ayo kita pergi ke pinggir sungai, kalau disini ntar mengganggu tetangga” Ujar yang lain
“ Maaf, hari ini aku ada janji melatih mereka bermain gitar, Kalau kamu masih betah disini gak ada yang ngelarang kamu kok” Cowok itu mulai berjalan ke arah sungai.
“ Tunggu” tukas Nina. Cowok itu menahan gerakanya. “ Bolehkan aku mengajukan satu permintaan ? “ Bahasa Nina tak sekasar tadi. “ Apa itu ?”
“ Maafkan aku, dan......aku ingin melihat kalian berlatih....” jawab Nina
Cowok itu tersenyum “ Tentu”
Nina tersenyum sambil mengikuti cowok dan nak kecil itu ke pinggir sungai. Kini ia menyadari bahwa tak semua pengamen seburuk yang ia sangka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar